Senin, 26 Mei 2014

Menuai Asa

Aku menatap kembaranku pada cermin bertepian pink kecil, tiba-tiba tangan seorang lelaki menghempaskan benda itu hingga berserakan di lantai sepi. Kaget aku dibuatnya. Ternyata itu kamu.

Lelaki sang pencari nafkah di keluargaku, kini raut wajahnya terlihat merah menyala. Aku tidak tahu apa yang bisa membuatmu marah seperti itu.

“Ada apa mas?” aku menghernyitkan pelipis

Mulutmu diam tak bersuara. Wajahmu yang terlihat seram, bungkam. Seraya ingin menghentak kepalan tanganmu ke kepalaku, tetapi tak sanggup.

Aku ambil segelas air jernih untuk menenangkan pikiranmu yang terlihat kacau, lagi-lagi hempasan tangan itu membuat gelas kaca yang aku pegang jatuh kelantai tak berdosa.

Kamu keluar rumah, segera melajukan mobilmu lagi yang belum sempat dingin. Aku bingung tak tau harus berbuat apa, kini hanya melihat mobilmu melaju dengan sangat. Semoga tak apa.

***

Dua hari kamu tak pulang kerumah, terniang sekali di kepalaku apa yang sebenarnya menjadikanmu seperti ini. di depan pintu rumah mertua, aku berdiam selama beberapa detik mengumpulkan nyali, sebelum memberanikan untuk mengetuk pintu. Mertuaku membuka.

Ketika mulutku hendak mengeluarkan kata, mertuaku mengiris pembicaraan. Terlihat serius wajahnya. Entah.

 “Dua hari ini suamimu disini, menangis setiap malam memikirkan kamu yang berselingkuh dengan orang lain. Dua hari, suamimu menunggu kamu untuk meminta maaf kepadanya. Tapi selama dua hari itu juga kamu tidak datang” mertuaku murka, menjelaskan apa yang terjadi. Wajahnya sedikit padam. Kesal.

Ketika mulutku ingin berucap, tiba-tiba. JDARRR!.  Keras sekali pintu itu menghentak untuk ukuran ibu tua berdaster gombrong. Mungkin amarah yang melakukannya.

Pintu itu tertutup, aku terus memohon agar untuk dibukakan. Namun tak ada arti.

Ku dengar suara isak tangis mertua di balik daun pintu, aku tak tega. “PERGI KAMU, TAK SUDI RUMAHKU DIINJAK WANITA YANG TELAH MENYAKITI HATI ANAKKU!!!”

Aku terdiam. jantung serasa henti berdetak. Paru-paru terasa sesak. Kantung mataku tak kuat menahan tangis yang memaksa jatuh. Tubuhku sekejap lemas, jatuh dilantai kayu mertua. Kosong.

Ohh tuhan, ini kah yang dinamakan asa?
Maafkan aku tuhan.. telah memainkan cinta yang agung hingga binasa

Ku berjalan. Jalanku gontai melepas rumah mertua. Kepalaku kosong. Entah apa yang telah aku perbuat. Butir-butir air berjatuhan di jalan. Bukan hujan, melainkan tangis penyesalanku. Kenapa aku bisa tega mengkhianati suamiku. ARRRGH!! . Kulemparkan sepatu high heels sepuluh senti-ku ke tiang yang beraliran listrik. End.


Foto dari sini

Bagikan

Jangan lewatkan

Menuai Asa
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

12 komentar

Tulis komentar
avatar
27 Mei 2014 pukul 05.52

PADAT banget ceritanya, sarat KONFLIK apalagi pas endingnya "Ohh tuhan, ini kah yang dinamakan asa? Maafkan aku tuhan.. telah memainkan cinta yang agung hingga binasa" menurut gue ini ending keren abis! :D

Reply
avatar
27 Mei 2014 pukul 10.12

trus ending nasib si Isteri gimana? suruh nglanjut sendiri niiih...? oia, high heelsnya gak apa-apa kan?

Reply
avatar
27 Mei 2014 pukul 11.03

butir-butir air berjatuha, tapi bukan hujan

anjass :)))

Reply
avatar
27 Mei 2014 pukul 14.36

penyesalan emang dateng diakhir, makanya jangan selingkuh wkwkwk

Reply
avatar
27 Mei 2014 pukul 15.18

kalimat endingnya, mantap :D

Reply
avatar
31 Mei 2014 pukul 06.45

Hai Kak Manap! neng kasih award nih buat (blog) kakak. Cek di sini ya? http://choconeng.blogspot.com/2014/05/the-liebster-award.html

Reply
avatar
1 Juni 2014 pukul 01.39

Terima Kasih ya.

belum bisa ditulis sekarang nih, udah malem banget. ngantuk :))

Reply

Komentar sangat dibutuhkan bagi seorang Blogger #FYI

Orang baik komentarnya akan baik; Orang buruk komentarnya akan buruk.

Terima kasih dan Terima apa adanya | ... ?

Beri komentar yang bersifat membangun yak :D #ThinkHIGH